Jumat, 17 Februari 2012

With You Always

With You Always 3
Alvin serasa meledak ia tidak menyangka kini tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengambil hati Luna. Alvin masuk ke kelasnya dengan amarah yang cukup tinggi, tak lama kemudian Luna dan Rendi masuk dengan muka berseri dan tawa bahagia. Saat itu juga Alvin merasakan kepalanya sakit, sangat sakit. Ia berteriak keras, lalu terdengar suara memanggil namanya, suara terakhir yang ia dengar sebelum ia pingsan.
Alvin POV
Aku mendengar suara burung cukup keras, kubuka mataku perlahan dan aku melihat pemandangan yang tidak asing. “rumah sakit berlian, ruang VIP no.03” gumamnya pelan, ia melihat jam di sebelahnya “sial.. sudah jam empat, dokter pasti melarangku pulang malam ini” gumamnya lagi. Pandanganya beralih ke arah sofa, adiknya fayrica sedang tidur berpangku pada mamanya. Lalu ia mendengar lagi burung-burung kecil berkicau di jendela. Sejenak ia tersenyum lalu mengigat masa lalunya. Tak lama kemudian ayahnya masuk membawa makanan, adik dan mamanya terbangun. “ lho Alvin sudah siuman?” kata mamanya menyadari keberadaanya. Sebelun Alvin menjawab adiknya Fayrica berlari dan langsung memeluknya. “kakak…… fayrica kangen…” katanya manja. “ iya, kakak juga” jawabnya sambil mengacak-acak rambut adiknya. Lalu ia melihat mamanya dan berkata “ aku bangun jam 4 tadi, boleh aku pulang malam ini? Tanyanya. Mamanya hanya menghela napas dan berkata “ mama rasa kamu sudah tahu jawabannya. Bila kau tidak menginginkan hal ini berhentilah memikirkan gadis itu!” katanya. “ ma jangan salahkan Alvin, dia tahu yang terbaik, dia sudah besar” bela ayahnya. “tapi ini akibatnya, Alvin lah yang harus menderita” jawab mama Alvin marah. “Aku yakin Alvin sudah tahu resikonya” belanya lagi Alvin hanya terdiam, tak lama, mamanyapun terdiam, mereka tahu Alvin benci perdebatan .
Alvin memecah keheningan dengan berkata “aku ingin mencari udara segar sendirian”. Ia berjalan dengan mata sayu, adiknya Fayrica tersenyum manis. Saat dia diluar dilihatnya wajah yang taka sing, seorang gadis yang dilihatnya sejak pertama ia dirawat disini. Di mata Alvin gadis itu tak pernah berubah, gadis pucat yang selalu tersenyum manis, namun pikirannya tentang gadis itu hilang saat dia memanggil namanya “kau Alvin kan..?” sapanya. “iya, darimana kau tahu? Siapa kau?” jawab Alvin. “aku mendengarnya dari para suster cerewet itu, aku Tasya, salam kenal” kata tasya sambil berjabat tangan dengan Alvin. Alvin tersenyum lalu berkata “kau mau jalan-jalan? Aku bosan di sini” katanya. “boleh, ayo ke balkon. Akan ku tunjukkan sisi indah R.S. Berlian” jawabnya bersemangat.
Di lorong yang mereka lewati Tasya sering kali menyapa orang-orang di sana, Alvin sempat berpikir Tasya pemilik RS ini, tapi ia menangkis pikirannya itu karena mana mungkin pemilik RS memakai baju pasien?. Alvin merasa aneh, ia bertannya “hei, aku yakin aku melihatmu sejak pertama kali aku dirawat di sini, 5 thn lalu. Apa panyakitmu?” tanyanya datar. “akan kuceritakan di balkon nanti, karena ceritanya panjang” jawabnya tetep dengan senyum khasnya.
“Sudah sampai, ini balkonnya indah bukan?”katanya tak lama kemudian. Alvin tak sanggup berkata apa-apa ia terdiam takjup, tak lama kemudian ia berkata “Luar Biasa..”. “gunung yang indah, sungai dan taman, pohon besar dengan burung yang lucu. Ini pemandangan asli RS ini” katanya ceria, namun berkaca-kaca.
“kau sakit apa?” tanyaku serius, “em.. aku sakit loukimia stadium 4, perawatan intensif di sini hamper 6 th, sampai aku mendapat donor sum-sum tulang belakang yang sesuai aku akan terus tergantung dengan obat-obatan” jawabnya dan lagi-lagi dengan senyuman. “oh.. begitu, hampir sama denganku. Aku punya kangker otak hampir 2th ini” kataku. “benarkah..? lalu kenapa rambutmu tidak gundul?” Tanya Tasya dengan nada mengejek.” Enak saja, karna keinginan sehatku yang tinggi & rutin minum banyak obat sekaligus, jadi tidak pengaruh”. Mereka terus ngobrol, bercanda, dan saling ejek bersama hingga sunset yang indah menyapa mereka. Tak lama kemudian Alvin menyadari sudah waktunya kembali sebelum nanti keluarganya mengomel lagi. “Tasya, aku harus kembali. Bye” katanya sambil berlari kecil meniruni tangga.
Sampai memasuki ruanganya wajah mereka benar-benar kawatir. “maafkan aku” kataku memelas menuju tempat tidur. “dari manasaja?” sahut ibunya. “main dengan teman baruku Tasya” jawabku seraya tidur. Mereka lalu hanya diam membiarkanku tidur.
Esok harinya:
Di sekolah
“Surat dari rumah sakit menyatakan Alvin sakit dan absen hari ini” kata bu Indriana. “maaf bu saya sekretaris kelas, boleh saya tahu penyakit Alvin agar dapat menukisnya di buku absen?” kata Lia.” Kali ini kamu tulis saja sakit ya” kata bu Indriana. Lia agak bingung denga jawaban bu Iriana, namun tetap mengangguk sopan. “dia punya riwayat penyakit?” Tanya Rendi tiba-tiba pada Luna. “aku tidak tahu, kurasa tidak” katanya.
Di Rumah Sakit
Pagi ini Alvin bangun dengan semangat dan senyuman. Alvin merasa senang dengan keadaan di rumah sakit ini mulai kemarin. Ia berpamitan pada mamanya untuk membeli makan, dan tentu untuk menemui Tasya. Ia sengaja membeli 2 mangkuk bubur ayam dan air mineral. Saat ia menuju ruangan Tasya ia melihat Tasya duduk melamun di bangku kecil, Alvin menghampirinya. “hoyy… ngelamun aja nich aku bawain makan” sapanya.
“eh iya Vin, ga perlu ngagetin ngapa?” jawabnya. “iya dech sorry. Udah cepet ni makan!” kata Alvin lagi sembari menyerahkan semangkuk bubur pada Tasya. Sambil makan Alvin bertanya “lho mama & papamu mana?”. “ya mereka kerja lha” jawabnya cepat. “cewek kok galak” sindir Alvin padanya. Tasya tak merespon dan hanya melanjutkan makan, sementara Alvin terkekeh.
Setelah makan Alvin pamit karna waktunya periksa rutin. Sesampainya di kamar ia menggerutu “huff… sendirian lagi, semua sibuk sendiri” lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Tak lama kemudian pintu diketuk oleh seorang suster pemeriksanya. Sambil di periksa ia hanya melamun memikirkan betapa tegarnya Tasya, hingga tak terasa pemeriksaan terasa begitu cepat. Saat ia sadar dari lamunannya suster itu sudah keluar.
Skip pagi harinya
Seperti kemarin Alvin hendak menemui Tasya, apalagi hari ini Alvin sangat kesal karena seharian kemarin ia sendirian. Saat tiba di depan pintu kamar Tasya raut muka Alvin berubah menjadi khawatir. Seorang suster menghadangnya dan berkata “maaf, Tasya harus dirawat ketat oleh dokter”. Alvin kembali ke kamarnya dengan perasaan galau, ia hanya mondar mandir tanpa memakan makanan yang tadi dibelinya, entah kenapa perasaannya sangat buruk.
Sore pukul 15.00
Alvin berteriak dari tidurnya dengan keringat dingin membasahi wajahnya. Ia mencoba vokus pada hal yang terjadi, lalu bergumam “mimpi buruk”. Namun saat mengingat mimpi itu ia panic “siapa.. siapa gadis itu? Kenapa ia berterima kasih padaku? Dan kenapa aku melarangnya pergi?” tiba- tiba pintunya diketuk cepat oleh seseorang “Alvin… Alvin…”. “ada apa tante?” jawabku sambil membuka pintu. “nak Tasya nak, kamu harus temui dia” kata ibu Tasya sambil menangis. Seolah tahu apa yang terjadi aku berlari ke kamar Tasya meninggalkan ibunya.
Aku membuka pintu kamar itu, ku lihat ayah Tasya juga menagis, kuhampiri tasya dan ku genggam tangannya. “Alvin tasya kritis nak” kata ibu Tasya. “Tasya.. Tasya bangun Sya ! kamu gak boleh ninggalin aku Sya!” teriak Alvin. Sesaat ku lihat matanya terbuka walau sedikit. Alvin berkata lagi “Sya kamu gak boleh pergi!! Inget janji kamu !” “v..vin” sela Tasya “ma..ma..ka…s..iii...h m..maa..u b..ber..r..te…ma..n.. d..en…gan…ku” katanya
“m..ma…ma, pa…pa Ta…sy..a ss..a…ya..n..g k..kal…li..an” katanya lagi “iya Sya kami juga sayang padamu” jawab ibunya sementara papanya tak sanggup berkata apa-apa. Alvin terus berkata padanya “Sya dengerin aku, kamu harus semangat kamu pasti bisa bertahan! Percayalah Sya!!” tasya hanya tersenyum lalu matanya perlahan tertutup, terdengar bunyi dari alat disebelahnya. Kedua orang tua Tasya menagis semakin histeris. Alvin begitu tak percaya dengan apa yang dilihatnya “Sya..Tasya bangun Syaaa…!!!”
Alvin terbangun di kamarnya , kepalanya terasa berat. Selembar kertas putih berada digenggamanya.
Alvin maaf kami pergi tanpa pamit, kami memakamkan Tasya di TPU sekar putih, kalau kamu ingin kamu bisa pergi kesana. Vin sekedar agar kamu kamu adalah satu-satunya bagi Tasya. Di akhir hidupnya Tasya begitu bahagia. Tasya tak pernah lebih bahagia dibanding saat kamu datang sebagai temannya. Tante Fitri dan Om Dika sangat berterima kasih dan meminta maaf. Kami pamit nak..
Alvin terus menggigat disaat kebersamaannya dengan Tasya, sambil menagis ia terus menyebut nama Tasya. Semalam Alvin menanggis. Esok paginya Fayrica datang dia meminta maaf karena tak datang 2 hari. Alvin menyuruh Fay berjanji agar tak bilang tenteng penampilannya sekarang pada kedua orang tuanya. Rambutnya yang acak-acakan & matanya yang hitam karena menanggis. Tak lama kemudian Fayrica pulang, Alvinpun segera membenahi penampilannya sebelum suster datang. Seusai pemeriksaan ia berniat pergi ke makam Tasya yang dekat dengan rumah sakit.
Ia membawa sebuah keranjang bunga mawar merah dan merah mudah. Ia mencurahkan semua isi hatinya dan berdoa untuk Tasya. 2 jam tak terasa ia berada di sana. Ia memutuskan segera pulang sebelum pemeriksaan siang, Alvin tak ingn para dokter ngomel-ngomel padanya. Sesampainya di rumah sakit ia menyempatkan diri ke tempat dimana ia bertemu pertama kali dengan Tasya, ruang tunggu itu tak pernah berubah, tetap tenang seperti biasa, kecuali pengelihatannya tak salah.
Perlahan Alvin mengamati lelaki di ujung bangku, topi abu-abu menutupi rambut hitamnya “apa yang dia lakukan disini” gumamnya kesal. Lalu terdengar namanya di panggil “Rendi Agatha Putra”. Rendi berjalan pelan ke sumber suara, dan Alvin mendengarkan percakapanya dengan suster itu.
“maaf Rendi, sejauh ini kami terus mencari donor sum-sum buatmu. Memang ada, tapi itu tidak cocok. Sekali lagi kami minta maaf”
“em.. aku sakit loukimia stadium 4, perawatan intensif di sini hamper 6 th, sampai aku mendapat donor sum-sum tulang belakang yang sesuai aku akan terus tergantung dengan obat-obatan” kata-kata Tasya itu teringgat kembali, Alvin membelalakkan matanya tak percaya. Tak lama Rendi berjalan pulang. Alvin mengejarnya sambil berteriak “Rendi tunggu..!” Rendi menoleh, ia tak yakin dengan apa yang dilihatnya, “apa bener yang gue denger tadi, loe sakit Leokimia??” kata Alvin to the point. Rendi terlihat terkejut namun cepat berdalih “loe salah denger kali” katanya sambil tersenyum palsu. “loe gak perlu bo`ong, loe tahu kenapa gue di sini? Gue kena kangker Ren! Kangker!” kata Alvin tak sabar.
Pandangan Rendi kini tanpa ekspresi, perlahan ia menunduk dan berkata “ok gue jujur sama loe, tapi please rahasiain ini sama temen2, gue bakal lakuin hal yang sama buat loe..”
“terus Luna gimana?? Loe belum bilang ke dia, dia nungguin loe udah lama banget” kata Alvin separuh menyindir. “belum, Vin gue tahu loe suka sama Luna dari cara Loe liat gue waktu itu. Gue ga tahu sampai kapan gue bisa bertahan & ngerahasiain ini sama Luna. Satu yang gue tahu gue sayang banget sama dia!! gue pengen selalu sama dia, pengen banget!” katanya pasrah. “tenang aja sob gue percaya loe bakal selalu sama dia meski di hatinya, seperti orang yang baru aja gue kenal, bukan loe!” kata Alvin sambil tersenyum.
“gue ga nyangka dunia ini sempit, gue udah kenal banyak orang dengan penyakit kaya kita gini” kata Alvin sambil menggingat Tasya. “loe kelihatan terbiasa?” heran Rendi. “baru 3 hari gue kenal cewek dengan penyakit kaya loe yang meninggal kemaren dengan senyum bahagia, sejak itu gue udah ga pernah peduli sama yang namanya penyakit, gue ga takut mati” katanya puas. “loe sayang kan sama keluarga & temen loe?”Tanya Rendi, namun Alvin tak menjawab , hanya setetes air mata jatuh ke pipinya lalu dengan tersenyum ia mengangguk. “gue pengen sehat, banyak banget yang belum gue lakuin, terutama bahagiain Luna and kak Imel, gue ga pengen ninggalin kak Imel sendirian, dan gue terlalu sayang sama Luna, gue ga rela kalau harus pergi sekarang”lanjut Rendi.
Raut muka Alvin terlihat berpikir, lalu Rendi berpamitan pulang. Setelah Rendi melewati pintu keluar, Alvin pergi ke meja resepsionis dan kembali ke kamarnya dengan membawa beberapa lembar kertas.
Part 3 end
See you next time with WYA part 4